Menumbuhkan Literasi Anak Lewat Dongeng Ehon

Menumbuhkan Literasi Anak – Ehon, istilah yang berasal dari Jepang, bukanlah buku anak biasa. Ia bukan sekadar kumpulan cerita bergambar yang menghibur, melainkan alat pembentuk fondasi literasi yang kuat sejak dini. Ehon disusun dengan struktur naratif yang sederhana, ilustrasi ekspresif, serta kata-kata yang dipilih cermat untuk membangun pemahaman anak terhadap bahasa, emosi, dan logika.

Di balik gambarnya yang tampak polos, Ehon bekerja di banyak lapisan. Ia mengajak anak mengenal struktur kalimat, memperkaya kosa kata, hingga mengembangkan daya imajinasi yang sangat penting untuk tumbuh kembang kognitif mereka. Bukan hanya membaca, Ehon memaksa anak untuk merasakan, merenung, dan memaknai.


Dongeng yang Disuarakan: Peran Emosi dalam Proses Literasi

Salah satu kekuatan utama dari Ehon adalah keterlibatan orang mahjong ways dalam proses pembacaan. Ehon tidak dimaksudkan untuk dibaca sendiri oleh anak, melainkan dibacakan—dengan suara, ekspresi, dan intonasi. Di sinilah literasi mulai hidup. Ketika orang tua atau guru membacakan Ehon, anak-anak tidak hanya mendengar kata-kata, mereka menyerap intonasi, mengenali ekspresi wajah, dan menangkap emosi dari setiap kalimat.

Inilah metode pembelajaran yang menghantam langsung ke pusat perkembangan bahasa dan sosial anak. Mereka belajar bahwa kata-kata punya nuansa. Kata “sedih” bukan hanya bunyi, tapi juga ekspresi wajah yang muram dan nada suara yang menurun. Literasi yang tumbuh dari sini jauh lebih dalam ketimbang sekadar mengeja huruf demi huruf.


Imajinasi sebagai Pintu Masuk Dunia Literasi

Tak ada literasi tanpa imajinasi. Dan Ehon adalah kunci untuk membuka pintu dunia itu. Cerita-cerita dalam Ehon sering kali penuh keajaiban—binatang yang bisa berbicara, benda mati yang hidup, dunia paralel yang aneh tapi logis. Justru dalam absurditas inilah anak belajar mengenali struktur narasi: awal, tengah, dan akhir. Mereka diajak memahami sebab-akibat, mengenal karakter baik dan jahat, serta menganalisis perasaan tokoh.

Semua itu membangun kepekaan naratif yang sangat penting untuk kemampuan literasi tingkat lanjut. Anak-anak yang terbiasa mendengar dongeng Ehon lebih siap memahami cerita yang kompleks di kemudian hari. Imajinasi mereka terlatih untuk mengikuti alur, menebak konflik, dan menyusun kesimpulan—kemampuan yang kelak akan membantu mereka memahami teks sains, sejarah, bahkan berita.


Ehon vs. Gadget: Pertarungan yang Tidak Adil

Kita hidup di era di mana anak lebih dulu mengenal layar sentuh ketimbang halaman buku. Tapi di sinilah Ehon punya senjata ampuh: kedekatan emosional. Gadget menyodorkan hiburan satu arah yang cepat dan instan. Tapi Ehon menghadirkan interaksi hangat antara anak dan orang dewasa, yang sarat kasih sayang, perhatian, dan sentuhan manusia.

Saat Ehon dibacakan, anak tidak hanya belajar bahasa, mereka merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai. Ini dimensi literasi yang tak bisa ditandingi YouTube atau aplikasi edukatif mana pun. Bahkan studi menunjukkan, anak yang dibacakan buku sejak dini memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan orang tuanya, sekaligus kemampuan verbal yang lebih tinggi di usia prasekolah.


Dongeng yang Mendidik Tanpa Menggurui

Salah satu kekuatan Ehon adalah kemampuannya menyampaikan nilai tanpa ceramah. Cerita-cerita di dalamnya mengajarkan empati, kerja sama, kejujuran, dan keberanian lewat kisah yang menyenangkan. Anak tidak merasa diajari, tapi belajar melalui pengalaman tokoh. Di sinilah Ehon mengungguli buku teks moral atau materi pelajaran konvensional.

Misalnya, kisah tentang seekor kelinci yang menolong musuhnya yang jatuh ke jurang tak akan membuat anak merasa digurui soal empati. Mereka hanya melihat, merasakan, dan meniru. Tanpa sadar, nilai-nilai itu tertanam. Inilah literasi emosional yang dibungkus dalam bentuk cerita, bukan doktrin. Sebuah pendekatan yang lembut tapi menghujam.


Ehon Sebagai Gerakan, Bukan Sekadar Buku

Di Jepang, Ehon bukan hanya bagian dari pendidikan, tapi budaya. Kini, perlahan-lahan, gerakan literasi berbasis Ehon mulai menular ke Indonesia. Banyak komunitas yang mendorong pembacaan Ehon di rumah, taman bermain, hingga posyandu. Beberapa penerbit lokal bahkan mulai menerjemahkan dan mencetak Ehon versi Indonesia, lengkap dengan ilustrasi yang memikat dan cerita yang membumi.

Gerakan ini bukan main-main. Ia adalah upaya sistematis untuk melawan krisis literasi dari akarnya. Mengajarkan membaca bukan dengan mengeja, tapi dengan mencintai cerita. Ehon adalah pintu masuk. Dan jika dibuka dengan cara yang tepat, ia akan membawa anak-anak kita ke dunia penuh makna—yang lebih besar dari sekadar huruf di atas kertas.

Exit mobile version