Siswa ‘Nakal’ Dikirim ke Barak Diharap Tak Pecah Belah

Dikirim ke Barak

Dikirim ke Barak – Langkah pemerintah mengirim siswa ‘nakal’ ke barak pelatihan ala militer memicu gelombang pro dan kontra. Di satu sisi, tindakan ini dianggap sebagai cara tegas menegakkan disiplin. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan besar: apakah ini bentuk pembinaan atau justru upaya represif yang berpotensi menciptakan luka psikologis dan perpecahan sosial?

Barak, dengan segala simbol kekerasan strukturalnya, bukan tempat ideal untuk mendidik remaja slot bonus new member 100. Siswa bermasalah seharusnya ditangani dengan pendekatan psikologis dan edukatif, bukan dilempar ke lingkungan keras yang lebih menyerupai kamp pelatihan tentara. Mengubah ruang belajar menjadi arena kekuasaan dan kekerasan terselubung hanya akan melahirkan dendam baru, bukan perubahan perilaku yang sehat.

Labelisasi dan Stigmatisasi Dini

Pemberian label “nakal” pada siswa bukan hanya menyederhanakan masalah, tapi juga memperkeruh kondisi psikologis mereka. Istilah tersebut tidak menjelaskan akar persoalan: apakah siswa tersebut datang dari keluarga bermasalah? Apakah ada gangguan psikologis? Apakah sistem pendidikan yang gagal memahami mereka?

Saat mereka dikirim ke barak, masyarakat seakan diberi pesan: “Inilah anak-anak yang tak bisa diselamatkan lewat sekolah biasa.” Dampaknya jauh lebih luas dari yang diperkirakan slot bet 200. Muncul stigmatisasi di lingkungan sekitar, pengucilan dari pergaulan, bahkan tekanan sosial terhadap keluarga siswa.

Ini bukan sekadar soal pendidikan. Ini adalah potret suram bagaimana negara memilih untuk menangani anak-anak mudanya yang dianggap menyimpang.

Memelihara Ketakutan atau Menumbuhkan Harapan?

Apakah generasi muda harus dibesarkan dalam ketakutan? Haruskah disiplin ditanamkan lewat barak, bukan dialog dan empati?

Barak bukan tempat untuk membentuk karakter—itu tempat membentuk kepatuhan. Sistem ini bisa saja berhasil dalam menundukkan anak-anak secara lahiriah, tapi tidak akan pernah menyentuh akar persoalan. Mereka bisa menjadi patuh, tapi bukan karena mengerti, melainkan karena takut.

Kebijakan ini juga berisiko memecah belah masyarakat. Saat keluarga siswa ‘nakal’ distigma, muncul kelas sosial baru: yang “baik” dan yang “dibina.” Ini menciptakan segregasi sosial yang sangat berbahaya bagi masa depan kebangsaan. Bukannya memperbaiki anak, kebijakan ini justru bisa merusak sendi kepercayaan dalam masyarakat.

Jika pemerintah ingin membina, bukan menghukum, maka barak bukanlah jawabannya. Yang dibutuhkan adalah ruang dialog slot depo 10k, keterlibatan psikolog, pendekatan berbasis komunitas, dan reformasi pendidikan yang tidak membiarkan satu pun anak terpinggirkan. Mengubah manusia bukan lewat barak, tapi lewat pemahaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *